Kamis, 17 April 2014

Cerpen : "Ayahku Cinta Pertamaku"


Filzaaaaaah..!! Ayah memanggilku dan memberikanku sebuah jaket tebal kesayangannya. Jaket itu terlihat super besar di badanku dan ayah tertawa cekikikan melihat fashion style-ku yang aneh tapi unyu maksimal. Wajahku berubah cemberut ketika ibu juga ikut-ikutan menertawaiku, seakan-akan aku telah berubah menjadi badut ancol.. hahahaaaaahh. Keluarga kecil kami memang sering bercanda dan tertawa bahagia setiap hari, kebahagiaan yang membuat hatiku selalu dipenuhi kedamaian dan cinta kasih. Malam ini, kota tempat tinggalku sedang di guyur hujan deras dan angin kencang. Seperti biasa, aku tidur bersama ayah dan ibuku di kamar mereka. Di umurku yang menginjak usia 22 tahun aku masih saja di perlakukan seperti anak kecil, tapi aku menyukainya.. aku begitu cinta dengan hidupku yang mungkin sempurna dan mungkin juga melahirkan banyak rasa iri dari segilintir orang.

Di atas kasur yang empuk, diantara ibu dan ayah, aku menatap ayahku lekat. Entah kenapa aku merasakan rindu yang teramat dalam pada sosok ayah, rindu yang lebih dari biasanya. Mungkin ini hanya perasaanku saja atau ketakutanku karena sebentar lagi akan berpisah sejenak dari ayah dan ibu demi sebuah impian dan cita-cita masa depanku. Aku begitu mengagumi ayahku yang tampan, cerdas, dan pekerja keras meski kadang aku sering ngambek dan marah karena hal sepele.

****

AYAH!! meski waktunya banyak tersita di kantor tapi yang membuat aku bangga padanya adalah beliau sangat perhatian dan sayang pada istri dan anaknya. Selalu ada waktu untuk kami bermalam mingguan dan itu sudah menjadi ritual wajib sejak aku kecil hingga dewasa. Banyak yang kemudian bertanya padaku, "jika tiap malam minggu waktuku di habiskan dengan orangtuaku lalu kapan aku kencan dengan pacarku?" Pertanyaan klise itu hanya kujawab dengan senyuman bahwa aku tak punya pacar. Ingin sekali kujawab pertanyaan itu dengan mengatakan bahwa aku berkencan dengan pacarku di malam jumat... hahahaaaa ini menggelikan, pacaran di temani kuntilanak dan pocong.

Kenyataannya aku memang tak punya pacar.. bukan berbohong, bukan pula sok alim tapi karena aku takut pada ayahku. Ayahku orang yang keras, tegas, dan aku tahu dia sangat mencintaiku, mencintai anaknya yang cantik ini.. hihiihh maaf aku narsis. Aku hanya tidak ingin melihat ayahku cemburu, hanya tidak ingin melihat ayahku menatap cemas ketika ada pria yang datang ke rumah dan menemuiku. Aku hanya ingin di lihat seperti aku yang biasanya, putri kecil ayah yang manis dan penurut. Kadang terbesit dalam pikiranku untuk bersikap lebih dewasa, melepas sifat manjaku dan tak lagi di lihat sebagai putri kecil berumur 10 tahun dari mata indah ayah dan ibuku tapi kurasa itu sulit meski umurku kini menginjak 22 tahun, umur yang tentu tidak lagi remaja. Meski aku besar dari keluarga yang bercukupan, tetapi ayahku selalu mengajariku untuk hidup sederhana karena  tanpa kita sadari masih banyak orang di luar sana yang tidak seberuntung kita dan membutuhkan uluran tangan kita.

****

Kini, hari yang kutunggu, hari yang mungkin sedikit menakutkan bagiku telah tiba.. aku akan meninggalkan kota ini, negara tercinta ini untuk melanjutkan kuliah S2 ku di luar negeri, tepatnya di Singapore. Sengaja kupilih tempat ini karena lebih dekat dengan Indonesia dan aku bisa pulang kesini lebih sering ketika liburan semester tiba. Selain Singapore, aku menerima full scholarship dari salah satu Universitas terkenal di Melbourne tapi hatiku lebih memilih Singapore dengan alasan tak ingin pergi terlalu jauh dari ayah dan ibuku, disamping alasan bahwa aku adalah anak tunggal dalam keluargaku. Bisa di bayangkan bagaimana orangtuaku harus melepas anak semata wayangnya menuntut ilmu di negeri orang seorang diri dan belajar hidup mandiri, bahkan berinteraksi dengan lingkungan sosial yang baru.

Aku tahu seperti apa perasaan orangtuaku karena itu pula yang aku rasakan saat ini, detik ini ketika senyuman dan airmata haru mondar-mandir di wajah dan pelupuk mata kami. Tangisku pecah seketika ketika kupeluk ayah dan ibuku, orang yang paling kusayangi di dunia ini. Aku hanya bisa meminta doa restu dari mereka agar tujuanku menuntut ilmu di negeri orang tidak sia-sia dan secepatnya kembali untuk berkumpul dengan orangtua dan orang-orang terkasih. Bicara tentang pendidikan, ayahku selalu berkata "tak peduli di kampus mana kita menuntut ilmu tetapi yang terpenting adalah bagaimana kita mampu menggunakan dan mengaplikasikan ilmu yang sudah di peroleh agar bermanfaat untuk masyarakat".

****

Ini adalah hari pertamaku berada di Singapore, tapi ini bukan kali pertama aku menginjakkan kaki di sini. Terakhir aku ke Singapore bersama orangtuaku ketika liburan semester 2 tahun lalu.. hmm lumayan lama. Sore itu aku hanya berjalan santai di sekitar Orchard Road, menikmati pemandangan sore hari dan melihat para wisatawan yang lalu lalang sambil sesekali berfoto di sekitar situ. Esok harinya adalah hari pertama aku kuliah di salah satu kampus bergengsi di Singapore. Senang sekali rasanya berada di lingkungan yang baru, atmosfer baru, kampus baru, teman baru dan semua yang serba baru. Di kampus inilah pertama kali aku bisa lebih dekat dengan lawan jenis "laki-laki" dalam perjalanan hidupku, namanya "Rafa" dan dia dari Indonesia. Mungkin karena aku dan Rafa sama-sama dari Indonesia sehingga kamipun menjadi dekat satu sama lain. Bukan karena aku jauh dari orangtua lantas aku menjadi liar dan punya teman dekat seorang pria.. bukan, bukan karena itu tapi aku hanya seorang gadis manja yang sedang belajar menjadi wanita dewasa yang perlahan mulai mengenal yang namanya "CINTA". Cinta yang bahkan belum pernah kurasakan pada orang lain selain cinta yang di berikan oleh ayah dan ibuku.

Rafa pria yang tampan, baik, cerdas, sholeh, dan yang terpenting adalah kami seiman. Aku bahkan tak henti-hentinya memuji kelebihan yang di miliki Rafa padahal status kami hanyalah teman dekat, lalu jika sudah begini haruskah kukatakan bahwa Rafa adalah cinta pertamaku? Terlalu dini untuk mengakui itu karena aku masih terlalu polos dan lugu untuk mengerti tentang perasaanku. Ya, aku masih belajar mencintai. Lagipula aku tak ingin gegabah mengakui cinta pada pria yang belum lama kukenal, pria yang belum tentu akan seperti ayahku. Aku memang mendambakan seorang suami yang persis ayahku, sosok suami sempurna di mataku. Mendekati ujian semester di semester awal aku belajar di Singapore, tiba-tiba tengah malam handphoneku berbunyi dan ternyata dari ibuku. Aku sangat senang lalu buru-buru kuangkat telepon itu dalam keadaan setengah sadar karena baru saja tertidur pulas.

****

Aku: Assalamualaikum, Ibu apa kabar? Filzah kangen.

Ibu: Waalaikumsalam cantik.. Ibu alhamdulillah baik. Kamu gimana kabarnya nak? (Dengan nada suara yang agak berat menahan tangis).

Aku: Aku baik.. ibu kenapa bu? Ibu lagi nahan tangis ya? Ayo ngomong sama Filzah, bu..!!

Ibu: Ayahmu nak, sekarang lagi di UGD karena komplikasi dari penyakit diabetes yang di deritanya.. Filzah pulang ya nak!! Ayah mau ketemu kamu, sayang.

Seketika tanganku gemetar, tubuhku lemas seketika dan aku menangis hingga teman sekamarku di asrama "Reyna" terbangun dari tidur dan panik. Reyna mencoba menenangkanku tapi aku masih shock tak percaya. Ku raih kembali handphoneku yang jatuh di lantai dan kembali bicara pada Ibu.

Aku: Bu, tapi ayah baik-baik saja kan, bu? Ayah pasti sembuh kan? Iya, Filzah balik ke jakarta pagi ini juga.

Ibu: Iya nak, ayahmu pasti sembuh kalau sudah melihatmu ada disini.. kamu adalah kekuatan ayah, putri kesayangan ayah.

****

Percakapan diantara kami berakhir tetapi hatiku sungguh tidak tenang. Aku takut terjadi sesuatu pada ayahku. Reyna hanya bisa memelukku dan meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja, lalu Reyna menelpon Rafa dan memberitahunya tentang keadaanku dan tentunya meminta bantuan Rafa untuk segera membeli tiket untukku via online. Pagi itu aku diantar Reyna dan Rafa ke Changi International Airport. Sebelum check-in, Rafa memberikanku sebuah surat beramplop hijau yang akupun tak tahu apa isinya. Ia hanya berpesan agar surat itu kubaca setelah aku sudah tiba di Jakarta. Setelah itu aku pamit pada Reyna dan Rafa serta mengucapkan terima kasih karena mereka berdua sudah begitu baik mengantarku ke airport.

Tiba di Jakarta, aku sudah di jemput dua pamanku (Paman Sam dan Paman Ris) mereka adalah adik sepupu ayah. Melihat kedua pamanku yang lucu itu telah berdiri di hadapanku, buru-buru ku hapus airmataku yang sedaritadi masih betah mengalir, bahkan semenjak aku masih duduk manis di kursi pesawat sehingga menjadi pusat perhatian para penumpang di dalamnya. Ku peluk kedua pamanku sambil bercanda dan tertawa meski terkesan memaksa. Mobil berjalan mulus di jalan raya diiringi cerita-cerita lucu dari kedua pamanku. Aku tahu mereka pasti sengaja menghiburku agar aku tidak menangis, tapi dalam hatiku aku merasa ada yang aneh, entah apa.

****

Dan keanehan yang aku rasakan, ketakutan yang mengguyurku kini terbukti. Sepanjang jalan menuju rumahku, kulihat banyak mobil dan motor yang terparkir hingga menyebabkan kemacetan. Ketakutanku semakin menjadi meski aku mencoba tegar dan kuat tapi airmataku tumpah ketika aku turun dari mobil dan berlari ke pelukan ibuku. Aku menangis lemah seperti ingin pingsan tapi kutahan demi ibu, agar kita bisa saling menguatkan. Aku berjalan ke kamar utama dan kulihat ayahku sudah terbujur kaku terbungkus kain putih. Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? Aku sungguh tak percaya. Ku coba mencubit lenganku untuk meyakinkan bahwa ini hanya mimpi, tapi sakit yang kurasakan menyadarkanku bahwa ini nyata Filzaaahh!!! Ayahku sudah pergi, bukan untuk ke luar kota ataupun ke luar negeri tetapi pergi menghadap yang Maha Kuasa .. ya, ayahku pergi untuk selamanya. Aku berjalan mendekat pada jenazah ayah, kutatap wajahnya yang tersenyum indah (tetap tampan dan mempesona), lalu berbisik pelan...... Ayah meski kau telah tiada, ketahuilah "Kaulah Cinta Pertamaku".

Terima kasih Ayah, aku sangat mencintaimu ❤❤

*****

Sebuah pertanyaan yang pernah muncul dalam benakku terjawab sudah. Rafa bukanlah cinta pertamaku tapi aku berterima kasih padanya karena darinya aku belajar arti cinta dan kini setelah kami menikah, Rafa tetaplah menjadi pria ke dua yang aku cintai setelah ayahku. Dan ibuku? Tentunya beliau menjadi wanita pertama yang paling aku cintai di dunia ini. Tentang surat cantik beramplop hijau yang pernah Rafa berikan padaku baru kubaca setelah 7 hari meninggalnya Ayah dan isi suratnya adalah dia menyatakan perasaannya padaku, memintaku menjadi istri sholehah dan menjadi ibu yang hebat untuk anak-anak kami kelak.

Tanpa ku ketahui ternyata Rafa sudah pernah menghubungi ayah dan ibuku dan menyatakan niatnya untuk melindungi dan menjagaku, bukan hanya sebagai teman tapi sebagai pasangan hidup untuk selamanya. Meski saat kami menikah ayah tidak di sampingku, tapi aku yakin dan percaya bahwa ayah merestui pilihanku dan tersenyum bahagia melihatku bersanding dengan lelaki yang Insya Allah sholeh dan akan membawa rumah tangga kami hingga ke surga. Lelaki yang tentunya seperti ayah, persis seperti apa yang kuinginkan dan kuminta dalam setiap sujud panjangku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar